Umar
terlihat gusar, dan berkali-kali ia terjaga dari tidurnya. Ia melihat kalender
yang tertempel di sebelah meja belajarnya. Keningnya tak henti-hentinya
berkerut menunjukkan bahwa ada sesuatu yang mengganjal di fikirannya. Bagaimana
tidak, saat ini ia sedang mengalami dilema yang sangat berat. Dilema antara
harus tegas mempertahankan akidahnya atau menaati keinginan orang tuanya namun
rusaklah akidahnya yang selama ini ia jaga.
Tidak
pernah ia mengalami situasi yang menurutnya seberat saat ini. Pasalnya dua hari
lagi akan ada upacara adat yang rutin dilaksanakan setiap tahun di daerahnya.
Ayahnya merupakan tokoh yang cukup terpandang, karena masih ada hubungan
kekerabatan dengan keluarga kerajaan yang otomatis sering terlibat dalam prosesi upacara itu.
Walaupun bukan sebagai tokoh kunci, namun kehadiran ayahnya sangatlah penting. Dan kini, Ayahnya itu sedang sakit keras dikarenakan usianya yang sudah tidak muda lagi. Sehingga besar kemungkinan beliau tidak akan bisa hadir nantinya di upacara itu. Dan untuk menjaga nama baik keluarga serta hubungan dengan keluarga kerajaan maka ayahnya telah menyampaikan kepada sang Raja bahwa Umar, anak bungsunya yang akan menggantikannya. Dan semua itu dilakukan tanpa dibicarakan lebih dulu dengannya.
Walaupun bukan sebagai tokoh kunci, namun kehadiran ayahnya sangatlah penting. Dan kini, Ayahnya itu sedang sakit keras dikarenakan usianya yang sudah tidak muda lagi. Sehingga besar kemungkinan beliau tidak akan bisa hadir nantinya di upacara itu. Dan untuk menjaga nama baik keluarga serta hubungan dengan keluarga kerajaan maka ayahnya telah menyampaikan kepada sang Raja bahwa Umar, anak bungsunya yang akan menggantikannya. Dan semua itu dilakukan tanpa dibicarakan lebih dulu dengannya.
Umar
memang belum mengiyakan permintaan ayahnya. Melihat ayahnya yang terbaring
lemah, dan berbicara dengan suara yang parau saat beliau memintanya untuk
mewakilinya nanti di acara itu, dia hanya bisa diam. Walaupun sebenarnya begitu
banyak argumen yang bisa dijadikan alasan kuat untuknya saat itu. Ia sangat
faham dengan karakter ayahnya yang keras. Masih sangat jelas diingatannya, dulu
saat abangnya seorang ustadz muda yang menolak
tidak ikut menemani ayahnya dalam acara itu karena memandang bahwa
upacara adat itu mengandung unsur
syirik. Dan saat itu dia masih sangat kecil karena usianya dan abangnya terpaut
sangat jauh, dua belas tahun. Dan hal itu kini terulang kembali dan menimpa
dirinya namun dalam kondisi yang berbeda. Tentu saja, karena dulu itu terjadi
saat ayahnya masih bugar, namun sekarang kondisinya cukup membuatnya
galau-segalaunya.
Ia
sangat khawatir kata-kata yang sama akan
terlontar kembali dari mulut ayahnya, kepada abangnya. “keluar!!! Jangan
penah kau injakkan agi’ kaki kau dirumah
ini. Bapak dah cukop malu ngan Raje karne sikap kau.” Kata-kata itu
teringat jelas diotaknya saat ayahnya marah sejadi-jadinya kepada abangnya
tanpa memberikan kesempatan untuk membela diri. Dan sampai saat ini, ayahnya
belum mau untuk bertemu dengan abangnya itu. Walaupun berkali-kali terlebih
saat idul fitri abangnya selalu datang bersama istri dan anaknya. Namun ayahnya
tetap tak ingin menemuinya.
“Dan
sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui
orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu, dan Kami uji perihal
kamu.” [1]
Umar
terlihat begitu khusyuk dalam sholatnya. Tidak pernah selama ini sholatnya
begitu panjang seperti saat ini. Wajahnya basah oleh air matanya. Ia mengakhiri
sholatnyadan berdo’a cukup panjang, lebih panjang dari biasanya dan air matanya
pun semakin membasahi wajah dan pakaiannya. “Ya muqollibal quluub, tsabbit
qolbi ‘ala diinik! Ya mushorrifal quluub, shorrif qolbi ilaa tho’atik wa
tho’athi rosulik.”
Nabi
sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Jika salah satu kalian sudah mengerjakan
sholat hendaknya ia memuji dan menyanjung Allah kemudian bershalawat untuk Nabi
kemudian hendaknya dia memanjatkan do’a sebagaimana yang dia kehendaki.”[2]
******
Tok
tok tok... “Assalaamu’alaikum.. “ Umar mengetok pintuk kamar ayahnya seraya
mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalaam,
masoklah nak.. “ terdengar jawaban dari ayahnya dengan suara yang berat dan parau.
Umar
masuk ke kamar ayahnya, dan menutup pintu perlahan-lahan. Sesaat ia memandang
ayahnya yang terbaring lemah dari wajah sampai ke kaki. Hatinya pilu memandang
kondisi ayahnya itu. Ia mencoba tersenyum untuk menutupi kesedihannya. Ia tidak
ingin kesedihannya justru menambah beban ayahnya dan memperparah sakitnya. Ia
menyalami ibunya yang kebetulan sedan duduk menemai ayahnya, kemudian ia duduk
di kasur di sebelah ayahnya. Dipegangnya tangan ayahnya dengan khidmat.
“Gimane
pak? Dah baek ke? Maseh sesak ke nafasnye?” tanyanya.
“Hmm
alhamdulillah mar, tapi masehlah siket-siket sesak nafas ni.” Jawab ayahnya.
“Alhamdulillah..
“ sahutnya.
“Pak,
Umar maok ngomong sikit ngan bapak boleh ke?” tanyanya pada ayahnya hati-hati.
“Omongkanlah
mar, memange masalah ape yang nak kau omongkan ni?” ayahnya balik bertanya.
Umar
mencoba memperbaiki posisi duduknya, kemudian menarik nafas yang dalam mencoba
menenangkan dirinya.
“Pak,
umar ni menurot bapak macam mane?” ia meminta pendapat ayahnya.
“Nak,
kau tu anak yang baek. Pintar, tegas, rajin, sholeh dah tu patuh dengan orang
tue.” Jawab ayahnya sambil sekali-sekali
batuk dikarenakan nafasnya terasa sesak. Umar mendengarkan dengan baik jawab
ayahnya sambil mengelus dada ayahnya mencoba membantu meringankan beban
ayahnya.
“Trus,
kau pun tak pernah buat malu dan nyusahkan orang tue.Bapak bangga same kau nak.
Tak salah bapak kasi’ kau name Umar, supaye kau bise macam sahabat Nabi, Umar
bin Khattab.” Sambung ayahnya seraya tersenyum.
“Pak,..”
Umar kembali beringsut mengganti posisi duduknya lebih dekat ke ayahnya.
“Umar
ingat betol, dulu waktu umar maseh kecil bapak suke nyuroh umar untuk belajar ngaji
di masjid lepas magrib. Bapak juga’ yang dulu sering nasihate’ umar biar umar
ni jadi anak yang sholeh, taat dengan agama sampai sekarang umar bise jadi
ustadz disini.” Ujarnya.
*****
Pagi
itu umar memang berencana untuk mencoba berdiskusi dengan ayahnya seputar
masalah yang membuatnya gusar. Masalah ia harus menggantikan ayahnya dalam
kegiatan upacara adat daerahnya itu. Dia ingin mencoba menjelaskan kepada
ayahnya, dengan cara yang lebih baik. Karena ia berharap dengan cara itu
ayahnya bisa faham kenapa ia dan abangnya menolak untuk menggantikan ayahnya
sekaligus memahamkan juga bahwasanya acara-acara adat yang bertentangan dengan
syari’at hendaklah tidak diteruskan atau diikuti. Ia ingin menjelaskan
perkataan Rasulullah bahwa “Islam itu tinggi dan tidak ada yang
mengalahkan ketinggiannya”[3].
Sebagai seorang ustadz, dia faham benar bahwa dakwah dilingkungan keluarga
terkadang lebih berat dibandingkan dakwah kepada masyarakat. Dia hanya ingin
bersikap tegas pada ayahnya, namun tidak ingin bersikap keras karena ia tidak
berharap niat baiknya itu justru menimbulkan mafsadat yang lebih besar yang
merugikan dakwah.
“Pak,
bapak menyekolahkan Umar ke sekolah agama, pasti karne bapak maok umar ni bise
menjage dire’ umar dan keluarge dari api nerake seperti yang Allah
perintahkan."
“Wahai
Orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,...”[4]
Umar
melanjutkan kata-katanya. Sementara ayahnya hanya manggut-manggut mengiyakan.
Ia masih belum bisa menangkap kemana arah pembicaraan anaknya itu.
“
Pak, sebagai seorang da’i umar merase sangat bersalah kalau umar bise
menasehati dan memelihare orang lain dari api nerake sementare untuk keluarge
umar sorang, atau untuk orang-orang yang umar cintai umar tak bise ngejage dan
ngenasehati’nye. Padahal udah jelas peringatan Allah yang umar bacekan tadi.
Karne itulah pagi ni umar cobe ngelaksanekan itu, dan umar mohon same bapak
untuk kali ini aja dengarkan kate-kate umar dan jangan bapak potong dulu. Bise
kan pak?” tanyanya pada ayahnya, mencoba membuat kesepakatan sebelum ia
melanjutkan pembicaraannya lebih jauh.
“Teruskanlah
mar, insyaa Allah bapak dengarkan.” Jawab ayahnya masih dengan suara parau
disertai batuk yang membuat merah mukanya saat menahan sakit.
Mendengar
jawaban ayahnya yang menyetujui untuk mendengarkan apa-apa yang akan
disampaikannya dan tidak menyanggah pembicaraannya membuatnya tenang. Ia pun
tersenyum kepada ayahnya.
“Pak,
kite sebagai seorang muslim tentunya dalam setiap ape-ape yang kite kerjekan
baek itu ibadah maghdhoh atau ghoiru maghdoh, mulai dari bangun tidur sampai
kite tidur, mulai dari urusan pribadi sampai urusan negare tentunye haruslah
sesuai dengan ape-ape yang udah ditetapkan Allah lewat Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa alihi wasallam. Allah pun udah mengingatkan kite masalah ini.”
“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah.”[5]
Ayahnya
manggut-manggut mengiyakan perkataannya.
“Artinye
pak, Islam tu haruslah kite jadikan pijakkan dalam hidup kite. Islam bukan cume
sholat di masjid, ceramah, ngaji. Tapi islam itu menyeluruh, semua hal itu ade
aturannye dalam islam. Dan Allah udah menyempurnakan agama islam ini. Dan boleh
kite kurangkan atau ditambahkan.”
“Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmatku dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagimu.”[6]
“Pak,
yang maok Umar omongkan ngan bapak sekarang adalah tentang permintaan bapak ke
Umar untuk gantikan bapak dalam Acare Robo’-robo’[7]
tu.” Umar mulai mengarahkan pembicaraan ke inti permasalahan.
“Emangnye,
ape hubungannye yang nak kau omongkan tadi’ dengan acara robo’-robo’?” tanya
ayahnya heran. Ia mulai berfikir macam-macam.
“Ape
kau ni na’ macam abang au tu ke? Yang tak mau ikot acare tu? Kau na’ ikot buat
bapak ni malu depan raje juga’ ke?” ayahnya mulai terlihat emosi, dan
terbatuk-batuk akibat emosinya itu.
Umar
mencoba menghela nafasnya sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Diambilnya
segelas air dimeja dekat tempat tidurnya, dan disodorkannya gelas itu kepada ayahnya.
Setelah ayahnya meminum, gelas itu diambilnya dan diletakkan kembali.
“Pak,
dengarkanlah dulu penjelasan umar sampai selesai, kan bapak dah janji.” Kata
umar pada ayahnya lembut, mencoba menjaga emosi ayahnya.
“Iye
pak, dengarlah dulu ape yang umar omongkan tu sampai selesai, jangan langsung
marah-marah je.” Ibunya yag dari tadi hanya diam mendengarkan ikut menimpali
dan mencoba menenangkan emosi suaminya.
“Hmm,
teroskanlah omongan kau tu, bapak dengarkan.” Jawab ayahnya. Ia merasa kalah
suara saat itu karena istrinya ikut mendukung anaknya. Umar sendiri bersyukur
dalam hatinya karena Allah telah membantunya melalui ibunya.
“Gine’
pak, sebagai anak umar memang udah seharosnye turut dan taat same orang tue.
Dan agama kite pon memang mengajarkan itu.” Ia pun kemudian kembali menyitir
firman Allah.
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia, dan
hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua,...”[8]
“Tapi
pak, bicare ketaatan same orang tue, yang harus kite taate’ tu tentulah hal
yang baek-baek je. Ye kan pak? Sementare kalau yang diminta same orang tue itu
yang jelek-jelek make dak boleh seorang anak untuk taat. Rasulullah udah
ngajarkan kite tentang ini.”
Dari
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah,
sesungguhnya ketaatan itu hanya ada pada yang ma’ruf (dikenal baik).”[9]
“Emangnye,
permintaan bapak itu salah? Kan acare robo’-robo tu udah adat kite, lagi’ pula
kan acare robo’ robo’ tu baek tujuannye. Kite disana bedo’e supaye Allah
menjaohkan balak dari kite semue. Tros kite disana pun ade makan saprah[10] same-same.
Lalu dimane masalahnye yang kau maksodkan tu?” Sanggah ayahnya mencoba membela
diri. Umar tersenyum mendengar jawaban ayahnya.
“Pak,
ade beberape timbangan syari’ah yang perlu kite tengok untuk masalah ini. Yang
pertame masalah syarat diterimanye suatu amal perbuatan dalam islam. Yang kedua
acara yang ade didalam upacare itu sendiri. Kalau dak salah umar, dalam upacare
tu ade yang namenye tradisi buang-buang kan pak? Buang-buang sesaji yang isinye
beras kuning, bertih same setanggi. Yang tujuan itu setau umar untuk
penghormatan kite terhadap sungai same laut dan beharap supaye mereke bise
ngedatangkan manfaat yang besar untuk kehidupan kite, dan supaye kehidupan kite
bise salaras. Betul dak pak?” Tanya umar meminta koreksi atas pernyataan
dirinya. Ayahnya hanya menganggukkan, tanda ia membenarkan pernyataan umar.
*****
“hmmm,
cobe kau jelaskan ke bapak satu-satu timbangan islam untuk masalah ini.” Pinta
ayahnya yang mulai penasaran karena belum pernah seumur hidupnya ia membahas
masalah ini.
“Baeklah,
umar cobe jelaskan yang pertame dolok. Tentang syarat diterimanye sebual amal
perbuatan dalam islam. Dalam islam syarat maqbul (diterima) sebuah amal
dak hanye ngeliat baik atau dak amal perbuatan itu, tapi juga harus niat dan
carenye benar sesuai syari’at. Ade landasannye dalam Al-Qur’an dan Sunnah
(hadits).”
“Barang
siapa yang mendatangkan hal baru dalam urusan agama yang tidak termasuk bagian
darinya (tidak ada dasar hukumnya maka tertolak.”[11]
Atau di riwayat lain “ Barang siapa melakukan amalan, tanpa didasari
perintah kami, maka tertolak.”[12]
Imam
malik Rahimahullah mengatakan bahwa “barang siapa yang mengadakan hal yang baru
dalam islam (dalam hal ibadah yang tidak ada dasarnya), dan ia memandang baik
hal itu maka ia telah menuduh bahwa Rasulullah telah mengkhianati Risalah Islam
yang telah Allah sempurnakan. Karena Allah telah berfirman “Hari ini telah
Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku atasmu dan Aku
Ridho islam sebagai agamamu.”[13]
“Nah,
kite sebagai seorang muslim yang mengaku cinte kepade Allah dan Nabi udah semestinye
untuk taat dan patuh dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.”
“Katakanlah
wahai Muhammad,’Jika kalian semua mencintai Allah maka ikutilah aku, tentu
Allah akan mencintai kalian.’.”[14]
“berdo’e
minta kepade Allah untuk dijauhkan bala’ memang dianjurkan. Tapi yang jadi
masalah disini’ adalah carenye tadi’. Bukan dengan buat care baru, dengan
upacare-upacare yang dak ade dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Sampai nyusahkan diri harus naik ke perahu ke laut. Padahal Allah dak maok
ngasi kesulitan untuk hambe-Nye justru kemudahan, tapi bukan untuk
dimudah-mudahkan. Sampai disine’ kire-kire ade dak yang bapak kurang jelas yang
mau di tanyakan?” pungkas umar menyudahi penjelasan awalnya tentang syarat
diterimanya amal dengan pertanyaan kepada ayahnya.
“Ngerti,
insyaa Allah. Lalu, masalah yang kedua tu macam
mane pula’?” tanya ayahnya yang semakin penasaran.
“Untuk masalah kedua, tentang acare
buang-buang yang ade dalam upacare robo’-robo’ itu temasok syirik yang pelakunye
diancam oleh Allah.” Jelas umar melanjutkan penjelasannya.
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (Syirik), dan Dia
mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) bagi siapa yang Dia kehendaki.”[15]
“Bahkan
yang lebih mengerikan Allah mengharamkan surga untuk pelaku syirik dan
menjadikan neraka sebagai balasannya.” Tambah umar tentang balasan bagi pelaku
syirik.
“Sesungguhnya
barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka Allah mengharamkan
syurga baginya dan tempatnya ialah neraka.”[16]
“Nah
sekarang timbul pertanyaan, kenape die termasuk syirik? Sesuai dengan
penjelasan Imam Adz-Dzahabi bahwa syirik adalah engkau menjadikan adanya
sekutu bagi Allah padahal Dia-lah yang telah menciptakanmu. Engkau beribadah
kepada-Nya dan juga beribadah kepada selain-Nya, seperti beribadah (menyembah)
kepada batu, manusia, matahari, bulan, nabi, syaikh, jin, bintang, malaikat,
dan sebagainya.[17]
Dari pengertian tadi make, acare buang-buang dalam upacare robo’robo’ tu jatuh
ke dosa syirik. Karne acare buang-buang tu kite udah membuat sungai dan laut
sebagai tandingan, dan menganggapnye mampu mendatangkan manfaat dan mudhorat
bagi kite atas kehendak sungai atau laut itu. Tros masyarakat juga percaya
kalau dak kite kerjekan acare buang-buang itu maka timbul bencana bagi kite.
Padahal Allah udah memberikan jaminan ke kite hambanye bahwa dak akan ade
susuatu yang akan menimpa manusia tanpa seizinnya. Jadi walaupun kite udah
ngelakukan acare buang-buang tu, tapi Allah berkehendak menimpakan ke kite
musibah, make kite tetap dak akan bise menolak dan menghindarinye.”
“Jika
Allah menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang
menghilangkannya melainkan Dia sendiri.”[18]
“Setiap
bencana yang terjadi di bumi dan menimpa dirimu sendiri, semuanya telah
tertulis dalam Kitab (Lauhil Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang
demikian itu mudah bagi Allah.”[19]
“Nah
kalau Allah udah menjamin dak akan ade yang menimpa kite tanpa izin-Nye maka
cukuplah bagi kite beribadah kepada Allah dan meminta pertolongan hanya kepada
Allah.”
“Tapi,
kan acare ini udah dikerjekan turun temurun oleh nenek datok kite, dan udah
jadi adat istiadat kite. Trus macam mane penilaian orang ke kite nanti kalau
kite dak ikut dalam upacare tu?” sanggah ayahnya.
“Pak,
alasan ini juga yang sering dulu disampaikan oleh orang-orangkafir quraisy
waktu Rasulullah menyampaikan dakwah, dan merintahkan mereka untuk meniggalkan
agama nenek moyang mereka, bukan hanye itu tapi adat istiadat nenek moyang
mereke yang bertentangan dengan islam make harus ditinggalkan. Tapi ape yang
terjadi? Mereka kafir quraisy lebih memilih agama dan adat istiadat nenek
moyang mereka yang bertentangan dengan islam, walaupun mereka sebenarnye tau
kalau islam yang dibawa Rasulullah itu lebih baik dibandingkan apa yang mereke
kerjekan.
“Dan
demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan dalam
suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup di negeri mewah itu berkata,
‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata,’Apakah
(kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih
(nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu
menganutnya?’ Mereka menjawab,’Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu
diutus untuk menyampaikannya.’”[20]
“Cukuplah
ape-ape yang terjadi pade orang-oang terdahulu yang menolak untuk mentauhidkan
Allah itu jadi pelajaran bagi kite. Jangan sampai kite ikut-ikutan sebuah
tradisi yang itu jelas-jelas bertentangan dengan syari’at islam. Dan gare-gare
itu membuat kite jadi lebih memilih meninggalkan kebenaran dan cahaya yang
datang dari Allah. Padahal udah jelas arahan Rasulullah kepade kite untuk
menjadikan Islam sebagai jalan hidup kite, dan dak ade sesuatu ape pun yang
bise mengalahkan kemuliaan dan ketinggian islam.
Rasulullah
bersabda,”Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.”[21]
“Hadits
diatas jelas menunjukkan bahwa ape-ape yang ade pada adat istiadat yang
bertentangan dengan islam harus kite tinggalkan. Adapun menyikapi pandangan
masyarakat yang akan timbul, pertame yang harus kite lakukan adalah meluruskan
agik niat kite semata-mata karena Allah bukan mengharapkan pujian dari manusia.
Karnenye, hampir disemua kitab-kita ulama, kitab-kitab hadits permasalahan niat
diletakkan diawal pembahasannye. Teros yang kedua, kita harus bersabar dalam
melaksanakan perintah Allah, karne pasti akan ade jak orang-orang yang dak suke
dengan pilihan kite ni. Tah berupe hinaan, jadi buah bibirlah, apelah.
Bersabar, sambil kite tetap menasehate’ mereke. Yang penting kite tetap berade
dijalan yang benar dengan orang-orang yang selalu ingat kepade Allah. Dan
jangan sampai pula’ kite ninggalkan kebenaran hanye gare-gare kite lebih
mengejar pujian, kedudukan dan kehormatan dari manusie yang sementare.
“Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) megharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat
Kami, serta mengikuti hawa nafsunya dan adalah keadaan itu melewati batas. Dan
katakanlah,’Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir.’”[22]
“Maksudnye
adelah kite harus berusaha tetap sabar untuk berade besame dengan orang-orang
yang mencari kebenaran dan keimanan, dan hanya semata mengharap ridha Allah.
Wallahu a’lam. Makenye pak, umar tu nolak untuk gantikan bapak dalam upacare
tu, bukan karena Umar mau membangkang dengan orang tue. Tapi umar, takut dapat
murka Allah. Dan Umar sekali agi’ mohon maaf pak, kalo umar dak bise gantika
bapak. Dan umar pun mohon same bapak untuk lebih bise menerima kebenaran, dan
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama nenek datok kite yang betentangan dengan
islam. Karne umar dak mau, ade salah satu dari anggota keluarge kite yang
tertahan dak bise masuk surgenye Allah. Makenye umar hari ini cobe jelaskan ke
bapak.” Umar mengakhiri penjelasannya. Tanpa terasa air matanya mengalir
membasahi pipinya. Ayahnya pun ternyata, sedari tadi menangis ketika
mendengarkan penjelasan anaknya itu.
“Bapak
yang salah nak, bapak yang tue ni dan kurang berilmu ni tak pernah ngasi
kesempatan anak-anak bapak untuk mengingatkan bapak. Bapak terlalu keras
kepala. Gare-gare kobodohan bapak juga’ hubungan bapak dengan abang kau jadi
rusak. Padahal apa yang kau dan abangmu dulu kerjekan tu betol tapi karne
kobodohan dan kesombongan bapak, ...” ia tak mampu meneruskan perkataannya,
tertahan oleh tangisnya yang semakin menjadi. Ia mulai menyadari kesalahannya,
terutama kepada anak pertamanya dulu yang membuat hubungan mereka renggang.
“Mar,
tolong teleponkan abangmu sekarang ye, bapak maok ngomong dengan die, bapak
maok minta maaf.”
“Iye
pak.”
Umar
segera mengeluarkan hp dari saku celananya, dan menghubungi nomor hp abangnya.
“Assalaamu
‘alaikum..” Jawaban orang di ujung telepon.
“Wa
‘alaikumussalaam Warahmatullah.. bang Rahmat, ape kabar bang? Sehat?”
“Alhamdulillah
Mar, abang dan keluarge abang sehat. Adek cam mane ga’ kabarye? Oh iye bapak
macam mene, maseh sakit ke? Ade ape ni pagi-pagi dah nelepon abang, ade kabar
baek ke? Ooh.. jangan-jangan kau nak ngabarkan abang kalau kau dah nak nikah
ke?”
“alhamdulillah,
sehat bang. Satu-satulah bang nanya’nye, macam mane pulak saye nak jawab kalao
macam tu” candanya pada abangnya sambil tersenyum.
“Hmmm,
saye nelpon abang ni memang nak ngasi’ kabar gembire..” belum sempat Umar
menyelesaikan kalimatnya abangnya langsung memotong.
“Alhamdulillah.....
akhirnye.. adekku nak nikah ga’. Dengan orang mane?” tanyanya senang,
“E...
abang ni, dengarlah lok, saye ni memang nak ngasi kabar gembire buat abg, tapi
bukan hal saye nak nikah, masih lame lah tu...”
“Ha..
lalu kabar ape pula’?
“hmm..
adelah, tapi bukan saye langsung yang nak ngabarkannye. Biar abang ngomong
langsung je same orangnye..” jawabnya sambil menyerahkan hp kepada ayahnya.
“Assalaamu’alaikum
nak,..” dengan suara yang parau.
Rahmat
kaget, mendengar suara orang yang berbicara dengannya sekarang. Ia mengenal
suara itu, dan sudah cukup lama ia tidak berbicara dengannya.
“Wa’alaikumussalaam..
pak, gimane kabarnye ?” dengan suara agak tertahan.
“Maafkan
bapak ya mat, bapak yang salah. Ini semue gare-gare bapak. Maafkan bapak ye,
nak.. bapak udah buat kesalahan yang besar, padahal niatmu benar waktu itu,
tapi bapak dak pernah ngasi’ kau kesempatan jelaskan ke bapak waktu itu.
Maafkan bapak ye nak.” Ia berbicara sambil terisak-isak, air matanya mengalir
tak tertahankan. Rahmat yang mendengar perkataan ayahnya itu pun tiba-tiba
menangis haru, bahagia karena ayahnya telah mau bicara padanya.
“Pak,
rahmat yang salah pak. Rahmat yang harusnya minta maaf, bukan bapak. Karne
rahmat waktu itu dak sabar dan malah ikut emosi. Maafkan rahmat ya pak.. Pak,
boleh kalo besok pagi Rahmat same istri dan anak-anak maen ke rumah bapak ?”
“Datanglah
nak, kapanpun kau mau. Pintu tumah ini selalu terbuka untuk mu nak. Bawalah
juga istri dan anak-anakmu, bapak maok ketemu same mereke semue. Bapak tunggu
ye..”
Suasan menjadi haru, Umar dan ibunya yang ada
dikamar saat itu pun tak mampu menahan luapan perasaan mereka. Namun mereka
berdua menangis, bukan karena sedih. Mereka berdua menangis karena merasa
bahagia, keluarga mereka yang dulu sempat renggang semenjak perselisihan
ayahnya dan rahmat. Kini Allah telah menyatukan mereka kembali. Terlebih bagi
Umar, ia tidak meyangka sama sekali bahwa ternyata niatnya menolak dan
menasehati ayahnya ternyata berbuah sesuatu yang sangat indah, lebih indah dari
harapannya. Allah telah menyatukan kembali keluarga mereka yang sempat
terpecah.
*****
Pagi yang begitu cerah, disertai
semilir angin yang berhembus lembut membelai dedaunan. Terlihat taman belakang
rumah terlihat pak Hamzah se dang asyik bercengkrama beserta istri, kedua
anaknya Rahmat dan Umar serta Aisyah istri rahmat dan juga kedua cucunya.
Begitu hangat.
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang
benar; Niscaya Allah akan memperbaiki amal perbuatan kalian, lalu mengampuni
dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya ia mendapat kemenangan yang Besar.”[23]
**
Selesai **
Jayakarta,
19 Muharram 1434 H / 3 Desember 2012
Rohsyiandi
Santika Ibnu Rojak Rohendi As-Singkawangy
[1]
Al-Qur’an surah Muhammad : 31
[2]
HR. Tirmidzi beliau mengatakan hadits ini shahih (Majalah al-Furqan 119 edisi
ke 5 tahun ke 11, Dzulhijjah 1432 H, Nov-Des 2011 hal. 33)
[3]
HR.Baihaqi, dinilai shahih oleh Syaikh
Al-Bani
[4]
QS. At-Tahrim : 6
[5]
QS.Al-Hasyr : 7
[6]
QS.Al-Ma’idah :3
[7]
Upaca Robo-robo merupakan acara yang rutin diadakan oleh masyarakat mempawah.
Upacara ini dihelat pada hari rabu terakhir di bulan safar. Nama Robo-robo
karena acara ini dilaksanakan pada hari rabu.
(http:/www.kerajaannusantara.com/id/kerajaan-mempawah/upacara)
[8]
QS.Al-Isra’ : 23
[9]
HR.Bukhari no.7257,Muslim no.1840, Abu Daud no.2625, An-Nasa’i dalam as-Sunan
al-Kubra no.7828,8721, Ahmad no.724, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra
no.16386 (http:abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/266)
[10]
Makan Saprah : Tradisi makan bersama dimana dimakanan disediakan diatas sebuah
baki/talam besar yang berisi nasi, sayur dan lauk. Setiap nampan biasa untuk
4-5 orang.
[11]
HR Bukhari & Muslim
[12]
HR. Muslim
[13]
Fatawa al-Azhar, 10/177, Mawqi’ Wizarah Al-Awqaf Al-Mishriyyah.
[14]
QS.Ali Imran :31
[15]
QS.An-Nisaa :48
[16]
QS.Al-Maidah : 72
[17]
Al-Kabaair hal.19 cetakan ke:3 Darus Sunnah
[18]
QS.Al-An’am : 17
[19]
QS. Al-Hadid : 22
[20]
QS.Az-Zukhruf : 23-24
[21]
HR. Baihaqi dinilai shahih oleh Syaikh Albani
[22]
QS.Al-Kahfi ; 28-29
[23]
QS. Al-Ahzab : 70-71
inspiring! apakah based on true story? :D
BalasHapussaat baca cerita di atas, İ feel like watching laskar pelangi, membayangkan logat melayunye yang kental diucapkan oleh pemain film hehe. still comprehensible untuk pembaca yang bukan orang melayu :)
semoga di dunia nyata makin banyak anak muda kayak umar yang tak sekedar punya ilmu agama sbg pegangannya dlm berargumen, tp juga punya kemampuan komunikasi yg baik sehingga orang tua bersedia menjalankan saran2nya.
a nice step to start the writing habit, andi!
hehehe.. jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat itu adalah rekayasanya Allah semata...
Hapuscerpen ini yang ana bilang sebenarnya mau diikutkan lomba yang diadekan komunitas menulis dikalbar, tapi telat n gak pede..
Assalamualaikum wr wb, akhi tulisan dan ceritanya bagus, coba dikembangkan lagi dibuat novel, untuk publish dan promotor insya Allah sy ad kenalan dr solo yg mengembangkan dan menerbitkan cerita islami.
HapusKeren, akh.
BalasHapusGsys tutur dan dialog nya punya kekuatan yang unik.
Ma syaa Allah.
BalasHapusSgt menginspirasi.
Salam kenal dri saudaramu d Sambas.