Biar saya klarifikasi terlebih dahulu, kenapa judul tulisan saya kali ini “Menulislah dan Teruslah Menulis”? Hal ini bukan berarti menunjukkan bahwa saya seorang yang mahir dalam bidang tulis menulis. Karna saya juga bukanlah seorang penulis yang produktif, dan belum pernah menerbitkan buku. Tulisan-tulisan saya juga belum pernah diterbitkan di koran-koran nasional maupun lokal kecuali pada majalah kampus dan catatan pribadi di facebook. Namun apa yang akan saya tulis ini, hanyalah sebuah upaya untuk memotivasi diri saya dan sobat-sobat sekalian yang masih enggan dan berat untuk mulai menulis, agar mau mulai menulis.
Bagi sebagian orang, menulis mungkin sebuah aktifitas
yang sangat berat, aneh atau bahkan mustahil. Dengan berbagai alasan mulai dari
apa adanya, dibuat-buat sampai ada apanya orang-orang yang merasakan aktifitas
menulis itu adalah sesuatu yang sangat berat berusaha menolak atau menghindar
ketika ditawari, atau diminta untuk menulis. Sebagian besar mereka yang menolak
dan merasa berat dalam aktifitas tulis menulis memakai alasan bahwa mereka
tidak memiliki bakat untuk menjadi seorang penulis. Adapun bagi sebagian
lainnya, menulis dianggap sebuah aktifitas yang menyenangkan, dan mudah untuk
dikerjakan. Bagi kelompok kedua ini, menulis adalah sesuatu yang menyenangkan,
dan sangat mudah untuk dilakukan, kapanpun dan dimanapun. Ada, tiga pertanyaan
yang akan coba saya jawab di sini. Benarkah bahwa menulis itu perlu sebuah
bakat khusus? Menulis itu Gampang atau Sulit ? Apa rahasia para penulis hebat ?
Bakat
Dalam bahasa inggris bakat disebut aptitude atau
talent. Bingham mendefenisikan Aptitude ... as condition or set of
characteristics regarded as symptomatic of an individual’s ability to acquire
with traning some (usually specified) knowledge, skill, or set of response such
as a ability to speak a language, to produce music, -etc,.. (Bakat sebagai
sebuah kondisi ataupun sekumpulan karakteristik (ciri) yang dimaknai sebagai
gejala dari sebuah kemampuan seseorang untuk memperoleh dengan beberapa latihan (biasanya lebih
spesifik) pengetahuan, skill (keahlian) ataupun juga sekumpulan reaksi (respon)
seperti kemampuan untuk berbicara sebuah bahasa, untuk menghasilkan musik dan
sebagainya). Defenisi tadi,
menunjukkan bahwa Bingham menitik beratkan aptitude atau bakat pada apa yang
dapat dilakukan oleh seseorang setelah mendapatkan latihan.
Sementara Willliam B. Michael mendefenisikan An aptitude may be define as a person’s
capacity, or hypothetical potential, for acquisition of certain more or less
welldefined pattern of behavior involved in the performance of task respect to
which the individual has had title or no previous training (Sebuah bakat dapat
diartikan sebagai sebuah kemampuan seseorang, atau sebuah potensi hipotesis
untuk memperoleh sebuah pola kebiasaan tertentu yang terumuskan dengan lebih
baik ataupun kurang begitu baik yang termasuk didalam penampilan dari sebuah
penghargaan tugas untuk individu yang telah melakuan sedikit latihan atau
belum). Secara garis besar defenisi aptitude yang dibawakan oleh William
B.Michael memandang bakat dari kemampuan individu untuk melakukan sebuah tugas
yang sedikit sekali memerlukan latihan mengenai hal tersebut.
Dapat juga diartikan bahwa Bakat adalah
potensi/kecakapan dasar yang dibawa sejak lahir. Setiap individu mempunyai
bakat yang berbeda-beda seseorang yang berbakat musik mungkin dibidang lain
ketinggalan.[1] Setidaknya bisa kita simpulkan
secara umum bahwa bakat (aptitude) adalah kemampuan tertentu yang dimiliki
seseorang sejak lahir yang membuatnya mudah untuk mempelajari dan menguasi
suatu bidang tertentu . Nah sampai disini, kita fahami bahwa sebuah bakat perlu
dilatih agar lebih baik.
Yang jadi masalah disini adalah, tidak semua orang
mengetahui apa bakat yang dimilikinya. Makanya saat ini dalam dunia psikologi
berkembang test identifikasi bakat, dan test ini sering digunakan didunia
pendidikan, dan kerja. Artinya bakat itu ibarat sebuah emas yang sangat
bernilai, tapi keberadaannya sulit untuk ditemukan. Ia tersemunyi disuatu
tempat dan harus dideteksi dan digali. Setidaknya itu yang dianalogikan oleh
A.N Ubaedy (2007) tentang Bakat[2]. Bakat yang dimiliki seseorang adalah sebuah
modal bagi keberhasilannya. Tapi sebuah modal, seberapa besarpun dia hanyalah
sebatas modal jika hanya bersifat pasif dan tidak didayagunakan dengan baik.
Ada pernyataan menarik dari Thomas Wolfe tentang
bakat. Menurutnya jka seseorang memiliki bakat tetapi bakat yang dimiliki
tesebut tidak dipergunakan, sesungguhnya dia telah gagal. Ia tidak melakukan
sesuatu sehingga ia juga tidak akan mencapai apapun. Begitu juga ketika ia baru
menggunakan setengah dari bakatnya, maka ia berada dalam kondisi setengah
gagal. Keberhasilan baru akan dicapai dengan cara menggunakannya secara
maksimal untuk mencapai prestasi.
Setidaknya dari penjabaran di atas kita memahami bahwa kita semua memiliki bakat, tapi
sayangnya tidak semua orang mengetahui bakatnya. Bagaimana kita bisa tau dan
mengatakan dengan yakin bahwa kita tidak berbakat dalam menulis ?? bukankah
bakat itu sebagian besar tersebunyi bagi setiap orang? Apakah anda sudah
melakukan bakat sehingga kita langsung memfonis bahwa kita tidak berbakat dalam
menulis ?
Baiklah, katakanlah bahwa anda sudah melakukan test
bakat, dan hasit test menyatakan anda tidak memiliki bakat dalam menulis. Apakah
hal ini menandakan bahwa kita tidak akan bisa menulis dan menjadi penulis
hebat? Sebagaimana pula mereka yang memiliki bakat menulis, mereka belum tentu
bisa menjadi penulis hebat. Saya jadi teringat dengan pernyataan Thomas Alfa
Edison “Bakat hanya menentukan keberhasilan sebesar 1%, sisanya adalah
perpaduan dari kerja keras dan usaha terus menerus tanpa kenal lelah.” Dalam
artian bahwa bakat seseorang tidak sepenuhnya menjamin keberhasilannya. Yang
diperlukan adalah memunculkan minta serta usaha. Usaha untuk belajar, mau
mencoba dan terus mencoba. Seperti dua pendapat yang saya sebutkan diatas,
bahwasanya bakat hanya sebatas membantu seseorang agar lebih mudah untuk
mempelajari dan melakukan sesuatu. Dan ketiadaan bakat bukan berarti menutup
peluang untuk kita bisa menguasai dan mahir dalam suatu bidang.
Menulis itu gampang apa sulit ??
Menjawab pertanyaan ini saya juga rada-susah
menjawabnya. Karena saya sendiri terkadang untuk membuat sebuah tulisan singkat
saja, antara satu tulisan dengan tulisan lainya butuh waktu yang berbeda dan
mendapatkan tingkat kesulitan yang berbeda. Karena ada beberapa faktor yang
bisa membuat seorang penulis terkadang bisa menyelesaikan tulisannya dengan
cepat atau lambat, bagus atau tidak bagus dan nanti insyaa Allah akan saya
bahas. Dan mungkin kalau saya yang dijadikan acuan untuk menentukan apakah
menulis itu gampang atau susah sepertinya tidak representatif. Apalagi saya
tergolong seorang newbi.
Dalam mengawali sebuah kegiatan yang baru, sering kali
kita selalu dihadapkan dengan rasa was-was, ketakutan, dan kekhawatiran.
Pertanyaan yang sering muncul ketika melakukan sesuatu yang baru “bisa nggak
ya?”, “Gimana seandainya kalau,.. “dan sebagainya. Dan itu semua biasanya
muncul dari alam bawah sadar kita yang kadang disebut persepsi atau mindset.
Mindset atau persepsi ini terbentuk tidak dalam waktu singkat. Dia terbentuk
dari sekumpulan informasi, dan pengalaman yang kita dapatkan selama hidup kita
yang senantiasa berulang, sampai ia mengkristal. Yang parahnya jika informasi itu
tidak tersaring dengan benar. Dan informasi yang mengkristal dan kita namakan
persepsi atau mindset tadi kemudian dialah yang akan menjadi sebuah tembok atau
rantai yang akan menentukan sikap seseorang yang menghasilkan mental block.
Poerwadarminta (2005) mengatakan bahwa persepsi
adalah sebagai tanggapan dari sesuatu atau persepsi merupakan proses seseorang
mengetahui beberapa hal daripanca indera.
Widayatun (2002) menjelaskan bahwa pertama
terjadinya persepsi adalah karena adanya obyek atau stimulus yang merangsang
untuk ditangkap melalui panca indera lalu dibawa ke otak. Dari otak, terjadi
“kesan” atau jawaban (response) yang dibalikkan ke indera kembali berupa
tanggapan berupa pengalaman hasil pengolahan otak. Proses terjadinya persepsi
ini perlu perhatian (attention).
Ada sebuah ilustrasi yang sering digambarkan oleh para
moitvator tentang rantai yang sering membelenggu fikiran kita dan menghalangi
kesuksesan kita. Ilustrasi dari seekor gajah. Semua orang tau gajah, berbadan
besar, tinggi dan kuat. Dia bisa berlari kencang kemudian menyeruduk apa yang
ada didepannya. Apa yang terjadi ketika kemudian gajah itu ditangkap, kemudian
kakinya dirantai, setiap dia melawan dia akan dicambuk. Diawal-awal mungkin
gajah itu masih tetap berjuang, dan terus melawan dengan tenaganya. Dia mencoba
berlari tai terjatuh karena kakinya dirantai. Jika disuruh duduk, ia tidak mau
duduk kemudian dia dicambuk oleh sang pelatih. Hal ini terus bergulir. Dan
informasi yang ia dapatkan setiap hari adalah, ia tidak bisa berlari kencang
dan tidak bisa berjalan terlalu jauh karena kakinya dirantai, jika ia paksa
berlari ia akan jatuh, dan jatuh itu sakit. Dia juga, mendapatkan informasi
jika pelatih memberikan isyarat A makan artinya ia duduk atau yang lainnya dan
jika ia tidak melakukannya maka dia akan dicambuk, dan itu sakit. Berulang, dan
terus berulang, akhirnya informasi atau pengalamannya tersebut mengkristal. Dan
ketika pengalamannya tersebut sudah mengkristal maka ia hanya akan menjadi
gajah yang patuh padahal ketika itu besi-besi yang merantai kakinya sudah
dilepas. Tapi sayang ada satu rantai yang masih tersisa, rantai diotaknya.
Edie Raether dalam bukunya ‘Winning’ mengatakan bahwa
tombol relay dalam otak kita yang disebut RAS (reticular activating system/
sistem pengaktifan reticular) mengukur nilai setiap situasi yang dikaitkan
dengan makna dan relevansi pribadi, kemudian mengirimkannya ke penyimpanan
memori jangka panjang atau menghapusnya begitu saja. Semakin emosional dampak
dari suatu peristiwa, semakin dalam hal itu tertanam dalam fikiran dan semakin
sulit untuk dilupakan. Faktor penting yang menentukan fikiran dan sikap kita
adalah persepsi kita yang merupakan reaksi internal dari stimulus yang kita
tangkap dari lingkungan. persepsi yang baik menyebabkan fikiran yang positif
sehingga melahirkan tindakan yang positif.[3]
Agus Setiawan seorang Penulis, Trainer dan
Enterpreneur mengatakan “Apa yang kita tanamkan ke dalam fikiran bawah sadar
kita, semuanya berpegang teguh pada hukum kebiasaan. Apakah kebiasaan kita
menanamkan fikiran positif atau negatif?”. Jadi yang harus kita lakukan adalah
menanamkan fikiran positif kedalam alam fikiran bawah sadar kita, karena
fikiran adalah awal dari tindakan kita dan tindakan awal dari kebiasaan. Itulah
mengapa seorang muslim diperintahkan untuk senantiasa husnuzhon (berfikiran/
berprasangka positif) baik kepada dirinya, orang lain dan kepada Rabbnya. Dalam
hadits qudsi, Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya Allah telah berfirman : “Aku sebagaimana
prasangka hambaku kepadaku”.[4]
Setelah kita mengubah persepsi kita tentang menulis,
maka saya akan menjawab bahwa mudah ataupun susahnya menulis selain bergantung
kepada tiga hal, yang pertama adalah persepsi penulis dan sudah dibahas diatas.
Yang kedua wawasan dan keilmuan penulis. Untuk itulah seorang penulis harus
banyak membaca. Membaca apa saja, bisa berupa buku, koran, majalah, internet,
jurnal, bahkan membaca kondisi sekitarnya. Ini juga yang akan menentukan
kualitas tulisan. Semakin banyak informasi yang kita serap, semakin banyak
gagasan yang bisa kita tuangkan, semakin banyak perbendaharaan kata yang bisa
kita gunakan sehingga tulisan kita semakin “bergizi”. Dan yang terakhir adalah
Kerja Keras. Seorang penulis haruslah bersikap ulet, tidak mudah menyerah, dan
terus berusaha.
Rahasia para penulis hebat
Kira-kira apa rahasia para penulis terkenal sehingga
mereka mampu menjadi penulis yang hebat, dan produktif?
Dalam hidup ini, apapun profesinya seseorang tidak
mungkin dilahirkan langsung menjadi seorang yang mahir. Semua orang pasti perlu
proses, dan melewati satu persatu anak tangga kesuksesan. Dalam proses tersebut
semua orang juga pasti pernah merasakan terjatuh, atau gagal. Begitu juga
seorang penulis, tidak ada penulis yang langsung terlahir sebagai seorang yang
mahir tanpa sebuah proses panjang. Dalam kata lain selalu ada yang pertama
dalam hidup.
Jangan berfikir, bahwa para penulis hebat dan terkenal
tidak pernah mendapatkan kesulitan. Mereka juga pernah “berdarah-darah” ketika
memulai karirnya. Tulisannya juga pernah ditertawakan, atau dianggap remeh oleh
orang lain. Siapa yang tidak kenal Sylvester Gardenzio Stallone, seorang aktor,
sutradara dan penulis naskah. Naskah filmnya yang berjudul “Rocky” pernah
mengalami 1500 kali penolakan hingga akhirnya diterima dan meledak dipasaran.[5] Jhon Creasy, penulis 564
novel misteri-743 penolakan sebelum mempublikasikan buku pertamanya.[6] J.K Rowling, penulis Harry
Potter and the Philosopher’s Stone mengalami 14 penolakan.[7] Dan masih banyak penulis
terkenal yang pernah ditolak tulisannya pada awal karirnya dan mereka semua
kemudian menjadi penulis terkenal bahkan best seller. Walaupun ada beberapa
penulis yang diawal debutnya bisa langsung terkenal sebut saja Raditya Dika,
sorang penulis muda dengan buku pertamanya berjudul “Kambing Jantan”.
Dibalik semua penolakan yang dihadapi oleh para
penulis hebat pada awal karir mereka, ada rahasia sukses yang membuat mereka
kemudian berhasil. Dari 109 peraih Nobel Prize (laurete) bidang sastra dan
puluhan pengarang terkaya dunia nama-nama diatas agaknya menyepakati ungkapan
Ken Mac Macleod ini : “The secret of becoming a writter is to write, write, and
keep on writting.” Rahasia menjadi penulis adalah menulis, menulis dan terus menulis.[8]
Agaknya apa yang disampaikan oleh Ken Mac Macleod
diatas benar adanya dan sejalan dengan sebuah pepatah yang saya ingat betul dan
ini saya dapatkan dari guru kesenian saya waktu SMP, “Ala Bisa Karna Biasa”.
Sesuatu itu hanya perlu pembiasaan. Begitu pula dengan menulis. Seorang yang
punya bakat sekalipun jika ia tidak membiasakan menulis maka bakatnya tidak
akan berkembang dan tidak akan menjadi penulis yang hebat.
Jadi, tunggu apa lagi? Menulislah, dan Teruslah
Menulis...
[1] Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta:Rineka
Cipta,1991),h,78
[2] Ngainun Naim, Menjadi Guru Inspiratif, Memberdayakan dan Mengubah
Jalan Hidup Siswa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009)h.228-229
[3] “Hidup dengan Positif thinking” Queen Rahmah Rizqi Zaidah
http://Blog.uin-malang.ac.id/mykingdom/2011/09/03/hidup-dengan-positif-thinking/
[4] Shahih Al-Bukhari – Hasba Tarqim Fathul Baari, kitab bada-a al-wahyu
hadits no.7505 Juz 9 hal.177 Al-Maktabah Asy-Syamilah
[5] “Biografi Sylvester Stallone- Jalan Panjang Menuju Sukses”
http://Kolom-biografi.blogspot.com/2011/06/biografi-sylvester-stallone-jalan.html/m=1
[6] Larasati,Niken “Novel-novel Best Seller yang pernah ditolak Penerbit.”
http://img-nikenlarasati.blogspot.com/2012/10/novel-novel-bestseller-yang-pernah.html/m=1
[7] Ibid
[8] Khoiri,Moch “Inilah Rahasisa Top Menjadi Penulis.”
http://indonesiamenulis.co/inilah-rahasia-top-menjadi-penulis/
Ibnurrojak As-Singkawangy
0 komentar:
Posting Komentar